ASAL
USUL DAN KEAHLIAN PEMBUATAN PERAHU PINISI
DI TANAH LEMO BULUKUMBA (TINJAUAN dalam BERBAGAI VERSI)
Oleh
: Syahrul Amar
(staf Pengajar pada
Program Studi Pendidikan Sejarah STKIP HAMZANWADI SELONG Lombok Timur)
A. Perahu sebagai Simbol
Budaya Bangsa
Potensi laut sebagai sumber mata
pencaharian hidup masyarakat, membutuhkan kearifan tangan manusia. Laut yang
luas mengandung keunikan, nuansa keindahan, serta kekayaan sumber ekonomi. Jika
budaya laut semakin rapuh dan tidak memiliki kearifan kultural yang dalam
terhadap riak gelombang dan samudera, maka laut ini tidak berarti apa-apa.
Kearifan kultural yang dimaksud disini adalah seni dan teknologi ( art and technology ) yang mampu
meningkatkan kesejahteraan hidup, baik masa kini maupun masa yang akan datang.
Demikian
luas dan kayanya laut Indonesia, sehingga banyak orang menduga bahwa di masa
depan, laut menjadi salah satu alternatif yang potensial sabagai daya dukung
terhadap kehidupan dan penghidupan manusia, setelah semakin sempitnya daratan dan
terjadinya degrasi sumberdaya alam di darat yang tidak seimbang dengan laju
pertumbuhan penduduk. Kondisi geografis yang sebagian besar terdiri dari laut,
memungkinkan tumbuh dan berkembangnya sektor-sektor perikanan, pariwisata,
perhubungan laut dan pertambangan minyak.
Tidak banyak suku bangsa di
Indonesia yang sangat intim kehidupannya dengan perahu dan laut, seperti
masyarakat Sulawesi Selatan yang lazim dikenal dengan orang Bugis Makassar.
Perahu-perahu yang menjadi sarana angkutan laut mereka lebih dikenal dengan
nama perahu Bugis. Sejak berabad-abad yang lalu telah mengarungi nusantara,
menguasai pelayaran antara pulau. Bahkan pada zaman keemasan kerajaan Gowa pada
abad XVI dan XVII, perahu-perahu ini telah sampai ke Srilangka, Fhilipina,
Kamboja sampai ke pantai Australia Utara ( Pelly, 1975 ).
Sejarah perahu tradisional tidak terlepas
kaitannya dengan perkembangan budaya Sulawesi Selatan khususnya dan tidak
terlepas dari lingkup sejarah perjalanan kebaharian bangsa Indonesia pada
umumnya. Sejarah kebaharian Suku Bugis, Makassar dan Mandar berkaitan dengan
perkembangan perahu sejak adanya cikal bakal perahu sampai terciptanya perahu
pinisi dalam konteks kebaharian di tanah air.
Industri perahu merupakan bagian dari industri
pedesaan. Peranannya dalam memacu perkembangan desa pentai tidak bisa
diabaikan, khususnya dalam penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi
regional. Salah satu bentuk industri pendesaan itu adalah industri pembuatan
perahu. Orang-orang Bugis membuat perahu untuk keperluan angkutan antar pulau,
sebagai alat transportasi untuk merantau dan keperluan menangkap ikan. Perahu
tersebut sekaligus telah menjadi simbol budaya maritim mereka.
Sungguh
sangat menarik bahwa perahu tersebut, ternyata dibuat oleh ahli-ahli perahu
yang berasal dari Tanah Lemo dan desa Ara di Sulawesi Selatan. Kepandaian
meraka dalam membuat perahu telah diwariskan secara turun temurun sampai saat
sekarang ini. Potensi ekonomi rakyat yang masih sanagat sederhana terutama
sistem peralatan dan teknik pembuatannya, memerlukan sesuatu penemuan baru
dalam menunjang peningkatan produksi. Dari hal tersebut diharapkan menjadi
pangkal terjadinya perubahan sosisal dan ekonomi rakyat.
Pewarisan
keterampilan dan pengetahuan membuat perahu melalui sistem pemagangan kepada
anak keturunannya, sehingga keterampilan tersebut tetap bertahan sampai
sekarang. Para pengrajin khususnya punggawa ( ahli pembuat perahu ), harus
memiliki dua keahlian magis. Keduanya dipadu menjadi satu, sehingga keberadaan
teknologi ini sulit tertandingi. Pada masa sistem pembuatan perahu secara
tradisional, punggawa memiliki multiperan yakni sebagai tukangyang ahli dalam
membuat perahu dan meguasai tata ritual pembuatan perahu, pemilik modal serta
patron bagi sawi yang dipimpinnya.
Suatu
bukti yang sangat mengagumkan adalah peristiwa kebaharian pada penghujung abad
XX dengan pengembangan perahu pinisidalam kebaharian internasional.
Peristiwa-peristiwa tersebut adalah : (1) peristiwa pelayaran perahu pinisi
Nusantara ke Vancouver Canada tahun 1986, dengan tujuan promosi budaya (2)
pelayaran perahu paddewakang bernama Hati Maregge dari Makassar ke tanah
Maregge Australia Utara tahun 1988 di bawah sponsor Universitas Hasanuddin
bekerjasama denagn museum ilmu dan seni Darwin, (3) peristiwa pelayaran perahu
pinisi Amanna Gappa ke Madagaskar tahin 1991, dengan tujuan selain untuk
membuktikan bahwa perahu pinisi layak samudra juga sekaligus untuk membuktikan
mobilitas warga suku Bugis Makassar ke Madagaskar beberapa tahun silam, (4)
peristiwa pelayaran perahu pinisi Damar Sagara ke Jepang tahun 1992, yang
bertujuan untuk membuktikan keunggulan perahu tradisional pinisi sekaligus juga
untuk promosi budaya. Keempat peristiwa pelayaran tersebut membuktikan bahwa karya yang diciptakan oleh
pengrajin perahu di Tanah Lemo Bulukumba Sulawesi Selatan adalah sebuah karya
yang luar biasa dan diakui oleh dunia internasional.
B. Asal usul Perahu
Tradisional/Pinisi
Keberadaan perahu tradisional
di Sulawesi Selatan merupakan warisan budaya yang sangat tinggi, namun dalam
menelusuri sejarah (asal usul) bagaimana perahu itu muncul sebagai sebagai
karya budaya masyarakat Sulawesi Selatan menimbulkan banyak versi; baik versi
yang berkembang pada masyarakat pengrajin perahu, tokoh masyarakat, sejarawan,
budayawan maupun dari ilmuwan asing (Eropa).
Di dalam legenda yang
berbentuk karya sastra I Lagaligo telah dipaparkan bagaimana Sawerigading
bersama dengan perahu layarnya yang besar melanglang buana, bukan saja seantero
nusantara, tetapi samapai di mancanegara. Hal ini membuktikan bahwa orang
Sulawesi Selatan sejak zaman dahulu telah jaya di lautan. Di zaman jayanya
kerajaan Gowa di bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin, armada laut kerajaan
Gowa terkenal keberaniannya dan keperkasaannya telah membuktikan dengan usaha
perluasan kekuasaan ke beberapa wilayah termasuk Kalimantan bahagian Timur,
bali, bahkan sampai ke bagian utara benua Australia. Menurut Peter G. Spillet,
seoran sejarawan Australia Utara, telah terukir di layar sejarah bahwa orang
asing yang pertama mendarat di Benua Australia adalah orang Makassar (Pabittei,
1995:19). Peter G. Spillet yang mendapatkan julukan daeng Makkule dari orang
makassar, membantah catatan sejarah yang mengatakan bahwa orang pertama datang
berkunjung ke benua Australia adalah Abel Tasman (Belanda) pada tahun 1642,
James Cook yang berkebangsaan Inggris. Daeng Makulle telah berhasil meneliti
bukti-bukti sejarah berupa hubungan orang Makassar dengan orang Marege (
Pabittei,1995:19).
Sejarah perahu di Indonesia dapat juga
ditelusuri melalui sejarah fakta-fakta sejarah Sriwijaya yang menjelaskan
sejarah perahu dan perkapalan awal di Asia Tenggara. Perspektif sriwijaya ini
berusaha memaparkan beberapa tempat arkeologi kapal. Bukti-bukti arkeologi dari
sriwijaya memeperlihatkan adanya perahu berikat dan kayu gergaji, Ponsia tahum
293 Masehi dan perahu berikat Butuan “Baraggay” tahu 320 Masehi serta empat
potongan kayu milik perahu berikat dan papan gergaji yang disimpan di museum
Wat Khlong Tom pada pertengahan millineum pertama Masehi (Manguin,1985:24)
penggalian tempat dalam millenium pertama dan di awali millenium kedua sesudah
masehi dalam studi Sriwijaya memebrikan pembuktian tentang tehnik pembuatan
perahu/kapal sekarang ini. Selanjutnya Manguin juga mengungkapkan pada tahun
1930 ditemukan bukti proses pendangkalan dan sisa-sisa kapal tua di sungai
berlumpur Takua Pa.
Dari sumber lain mengenai sejarah perahu ini,
dapat diubgkap bahwa ada perahu yang disebut dengan perahi Pinas Trengganu
dibuat oleh anggota kelompok dari anak buah kapal layar Prancis yang telah
ambruk di pantai Trengganu pada waktu pemerintahan Baginda Omar (1839-1876).
Anak buah kapal tersebut menikahi gadis cina dari Kuala Marang dan menetap di
Kuala Trengganu untuk mencari nafkah sebagai ahli pembuat perahu
(Gibson,1953:2). Selanjutnya, setelah tampilnya catatan tentang perahu
Trengganu, C.C Brown menjelaskan bahwa yang membentuk keluarga di Trengganu bukanlah
pelaut yang ahli membuat perahu, tetapi orang Eropa yang sampai ke Trengganu.
Pada tahun 1846, Sultan Trengganu mempunyai sebuah skunyer dan beberapa
penduduk asli belajar tentang seni pembuatan perahu di Singapura dan dibantu
oleh tukang kayu Cina yang merupakan pekerja perahu yang dapat diandalkan.
Sekarang Pinas dibuat dengan dua layar betten Cina dan sebuah layar yang besar,
seperti yang dilukiskan dengan sketsa Warington Smith tahun 1890-1900. Pada
tahun 1900 perahu semacam inibegitu populerdi perairan Melayu.
Seperti yang dilakukan oleh laskar
india, Melayu, Bugis, Makassar, Mandar dan Buton telah banyak mempergunakan
secara luas nama-nama pengangkutan kapal Eropa di perairan Asia. Kapal- kapal
Eropa dan kapal-kapal asli Asia, dalam pembuatanya menerapan teknis-teknis
Barat dan ini berlangsung sebelum memperkenalkan Pinisi. Pinisi Bira yang
dikenal di Sulawesi Selatan pertama-tama dibuat oleh orang ara Sulawesi Selatan
pada tahun 1900 ( Liebner, 1996: 1 ) .
Perahu juga banyak dibuat menurut pola
orang Eropa. Seni pembuatan perahu tersebut diajarkan oleh salah seorang
pekerja Baginda Omar, sejenis perahu kecil buatan Singapura untuk dipakai
sebagai model. Kayu yang dipakai dalam pembuatan perahu ini adalah kayu jati
yang diimpor dari Siam.
Di Indonesia, tidaklah masuk akal jika
orang yang datang dan menetap tidak mengenal alat pelayaran karena Indonesia
dikenal sebagai negara kepulauan. Untuk melintasi laut-laut dan selat-selat
dari pulau ke pulau pasti dengan perahu/kapal. Jejak-jejak zaman silam selalu
menunjukkan tanda-tanda bahwa manusia hidup berpindah-pindah menyeberahi laut.
Indonesia adalah “Kerajaan Pulau” yang memiliki laut , sungai, danau dan
rawa-rawa, sehingga tidaklah mengherankan bila bermacam-macam bentuk perahu
diketemukan disini.
Bentuk yang pertama sebagai alat
pelayaran sebagaimana yang dikemukakan oleh Nooteboom (1951:2) adalah perahu
yang dibuat dari batang pohon yang dikorek (model lesung). Untuk membuat perahu
semacam ini harus merupakan kayu pilihan. Mengorek batang pohon semacam itu
kelihatan sangat sederhana tetapi sebenarnya sulit sekali, perlu pengalaman dan
pengetahuan yang luas. Orang Bugis Makassar menamai jenis perahu ini dengan
nama Lepa-lepa (sampan). Perahu jenis ini pada mulanya dibuat dari kayu
gelondongan besar dengan cara pengerukan bagian muka dan belakang dibuat tipis
dan lancip agar dapat bergerak maju. Sampan dari sebatang pohon ada gambar di
Candi Borobudur serupa dengan perahu-perahu yang dipergunakan sekarang ini.
Tetapi perahu-perahunya besar, berlainan dari yang kita kenal kini.
Pengayuh-pengayuhnya lebih banyak. Semua perahu-perahu bwsar pada gambar Candi
Borobudur memakai candik. Sekarang ini di Indonesia tidak lagi tedapat
perahu-perahu besar yang memakai cadik . hanya sampan-sampan kecil yang
mempergunakan cadik.
Catatan sejarah perjalanan Tome Pires
(1512-1515) dapat digarisbawahi bahwa perahu Bugis sudah muncul diperairan
nusantara sejak awal abad 16 dan pada saat itu
perahu Bugis telah diidentifikasikan sebagai jenis tersendiri yang
disebut dengan pengajava. Di duga
jenis ini adalah perahu yang dikenal dengan nama Pajala. Selain berdagang,
pelaut-pelaut Makassar juga terkenal sebagai bajak laut ulung yang disegani (
Cartesao, 1944:89-90).
Asal-usul perahu tradisional di Tanah
Lemo dapat ditelusuri dalam legenda yang berkembang dikalangan tukang perahu
dati Tanah Lemo. Tersebutlah seorang ahli agama islam (wali) yang bernama Amir
Daeng Salatang. Suat malam wali tersebut kedatangan seorang wali lain secara
gaib dalam mimpinya. Dia meminta Daeng Sallatang membuat perahu untuk menjemput
orang-orang Smbawa yang akan hayut karena letusan gunung Tambora. Seetelah
memberi petunjuk cara pembuatan perahu, bayangan gaib tersebut menghilang.
Konon, sang wali memang datang dari Sumbawa untuk menyebarkan agama islam di
sana. Pada saat perahu yng dibuat oleh Daeng Sallatang sudah selasai,
dipakailah perahu tersebut untuk menolong orang orang hanyut. Menurut
orang-orang Lemo-lemo, karena kejadian ini maka di Lemo-lemo ditemukan
keturunan orang Sumbawa. Mereka dulunya menjadi budak, bahkan ada yang
diperjualbelikan. Dari legenda ini orang Lemo-lemo mengklaim bahwa perahu
memeng diciptakan langsung oleh nenek moyang mereka (Salman, 1993:40-41).
Karena yang dipercayai sebagai pembuat perahu yang pertama adalah seorang ahli
agama islam sehingga beberapa aspek pembuatan perahu menggunakan bahasa arab
dalam do’a dan bacaan baik pada saat penebangan pohon kayu maupun pada saat
pembuatan perahu yang selalu dihubungkan dengan ajaran islam.
Versi asal usul perahu di Tanah Lemo
dan Ara Bulukumba Sulawesi Selatan, maka versi yang sangat terkenal adalah
legenda terdampar perahu Sawerigading. Dalam legenda tersebut dikisahkan pada
waktu sawerigading jath cinta kepada seorang gadis bernama We Tenri Abeng yang
setelah ditelusuri ternyata gadis itu adalah adik kembarnya. Sawerigading ini
adalah putra mahkota kerajaan Luwu. Keinginannya untuk mengawini adik kembarnya
menimbulkan amanah Dewan Adat Kerajaan Luwu. Cinta Sawerigading ini rupanya
tidak dapat pula diterima oleh We Tanri Abeng. Dewan Adat Kerajaan Luwu
mengancam mereka apabila niat tersebut diteruskan. Agar tidak menimbulkan amarah
dari Dewan Adat, maka We Tantri Abeng menyarankan agar Sawerigading menemui
seorang gadis yang serupa dengan wajahnya. Gadis tersebut bernama We Cudai,
seorang putri raja di negeri Cina (Mangemba,1956:48:59).
Sawerigading dengan perasaan berat menerima
nasehat adik kembarnya, namun dia tidak bisa berlayar ke negeri Cina karna
tidak punya perahu. We Tanri Abeng menunjukkan sebatang pohon kayu besar yang
tumbuh di tengah hutan untuk dijadikan perahu. Ternyata pohon itu tidak dapat
ditumbangkan, walau ditebang beberapa hari ditebang beramai-ramai. Dengan
perasan iba, We Tanri Abeng mengadu kepada kakeknya La Toge Langi (Batara
Guru). Sang kakek menyuruh Sawerigading menunggu di tepi pantai. Dengan
kekuatan magis Batara Guru, pohon kayu tersebut kemudian ditelan bumi dan
muncul menjadi sebuah perahu di pantai tempat Sawerigading menunggu. Dalam
mitologi Bigis, perahu ini dinamakan I Lawarlenreng (Mukhlis,1989:4).
Selanjutnya kisah tersebut
menceritakan tentang keberangkatan Sawerigading ke negeri Cina menemui We Cudai
dengan menggunakan perahu. Sebelum berangkat Sawerigading bersumpah dihadapan
kakeknya, bahwa ia akan kembali lagi ke Luwu. Akhirnya Sawerigading berhasil
menemui We Cudai, gadis yang diceritakan adiknya, namun Raja Cina menolak
lamarannya, sehingga terjadilah pertempuran. Sawerigading dapat memenangkan
pertempurantersebut dan akhirnya menangawini We Cudai. Demikianlah dia hidup
berkeluarga di negeri Cina beberapa lama, sampai dia rindu untuk kembali ke
Luwu, Dengan menggunakan perahu yang dibuat oleh kakeknya dahulu, Sawerigading
bersama keluarganya meninggallkan negeri Cina menuju Luwu. Ternyata dia lupa
terhadap sumpahnya untuk tidak kembali lagi ke Luwu. Di tengah perjalanan
perahu Sawerigading dihantam gelombang dan badai sehingga perahu tersebut
hancur bekeping-keping.
Perahu Sawerigading yang berkeping-keping
terdampar di beberapa pantai. Lunas perahu dan papan dek (katabang) terdmpar di
pantai Lemo-lemo. Tiang layarnya terdampar di pantai Bira. Hal ini yang
menyebabkan orang Bira sangat terkenal sebagai pelaut dan pelayar ulung,
sedangkan badan perahu terdampar di pantai Ara. Orang-orang Ara mengumpulkan
keping-kepingan papan, dimana sebelumnya mereka hanya mampu membuat
perahu-perahu kecil dari sebatang pohon yang dikorek (model lesung) dan
lepa-lepa (sampan) yang diperlukan nelayan untuk menangkap ikan.
Berdasarkan dari kisah ini, orang
Ara dan orang Lemo-lemo percaya behwa seluruh susunan (konstruksi) perahu
Sawerigading itu oleh nenek moyang mereka, kemudian dibakukan dan dijadikan
pola dasar dari perahu yang sekarang dikenal dengan nama Pinisi
(Pelly,1975:11). Antara orang-orang Ara dan orang Lemo-lemo ingin
mengaktualisasikan diri sebagai orang yang pertama kali menciptakan perahu,
begitu pula sebaliknya orang Ara.
Versi orang-orang Lemo-lemo dan
orang Ara berdasar ada legenda yang sama dan kedua desa tersebut bertetangga
dengan wilayah kecamatan Bontobahari kabupaten Bulukumba, sehingga unsur budaya
tidak perlu dipermasalahkan. Begitu pula jenis perahu yang diproduksi adalah
sama, namun dari segi kualitas ditentukan tingkat keahlian masing-masing.
Ada ungkapan bahwa orang Lemo-lemo
yang pertama menciptakan perahu, sedang dari luar dikenal bahwa orang Ara
adalah ahli pembuat perahu Pinisi dari Bugis. Hal ini dapat diterima, karena
orang Ara keluar dari desanya mencari nafkah dan profesi sebagai pengrajin
perahu. Ini disebabkan kondisi alam desanya tidak mungkin digarap untuk
pertanian.
Dalam beberapa tulisan dari abad
terakhir, Ara belum disebut sebagai pusat pembuatan perahu, namun sekelompok
orang dari Ujung Tenggara Sulawasi yang disebut Limo-limo telah diperkejakan
dalam pembuatan perahu atas penawaran di semua wilayah nusantara. Dewasa ini pembuat
perahu dari konjo yang membuat perahu besar di Kalimantan, Jawa, Sulawesi Utara
dan Sulawesi Tengah masih berada di bawah orang Ara (Liebner, 1996:1).
Orang Ara dan orang Lemo-lemo adalah serumpun dalam
suatu wilayah geografis yang tidak bisa dipisahkan. Kalau orang Ara menerobos
ke daerah ke daerah lain untuk mengembangkan karir,sehingga dikenal dengan umum
behwa mereka ahli pembuat perahu, merupakan konsekuensi logis dari suatu
pengembangan budaya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa baik orang
Lemo-lemo maupun orang Ara adalah sama-sama pencipta perahu tradisional yang
berasal dari wilayah Kecamatan Bontubahari kabupaten Bulukumba.
C. Keterampilan dan
Keahlian Membuat Perahu pada Masyarakat Pengrajin
Masyarakat Tanah Lemo, yang
berdiam di wilayah kecamatan Bontohari adalah ahli membuat perahu
yang diwarisi sejak dulu kala turun temurun dari nenek moyang mereka. Keahlian
mereka adalah potensi sumber daya manusia yang dijadikan sebagai profesi,
sehingga dapat memberikan pendapatan yang layak, guna memenuhi kebutuhan
keluarganya.
Keahlian yang dimiliki oleh
ahli pembuat perahu di Tanah Lemo, dibagi dua macam keahlian yaitu, keahlian
teknis dan keahlian magis. Keduanya dapat dipadu menjadi satu untuk
menghasilkan suatu produk yang berkualitas tinggi dan dapat diandalkan dalam
pelayaran.
Tokoh utama dalam keahlian
membuat perahu tradisional adalah punggawa. Dalam konteks ini, punggawa
berfungsi sebagai kepala tukang atau tukang ahli, menujukkan fungsinya secara
vertikal mengkoordinir para sawi dan pabo. Mereka bekerja dengan penuh
imajinasi yang tinggi dan sangat dipengaruhi dengan budaya sakral.
Keahlian teknis yang dimiliki
punggawa san sawi adalah merupkan modal besar baginya untuk menghasilkan
produksi yang bagus sekaligus memperoleh penghasilan yang tinggi. Keahlian
teknis tersebut meliputi: -Keterampilan teknis: penggunaan alat-alat produksi
pertukangan, memasang dan menyambung bagian-bagian/kompoen perahu, penguasaan
keseluruhan konstruksi perahu.-Pengukurang danpembuatan pola perahu: pengenalan
bentuk setiap bagian/ komponen perahu, kecakapan mengukur dan membuat perahu. –
Meramu perkayuan di hutan: pengenalan hutan, penegenalan jenis dan daya guna
kayu untuk setiap bagian perahu dan perhitungan kebutuhan seluruh pekayuan.
–Kepemimpinan dalam ramu perkayuan, perencanaan, pengorganisasian, pengawasan
dan penilaian (evaluasi).
Sedangkan keahlianmagis yang
dimiliki oleh punggawa dalam pwmbuatan perahu meliputi: Harus berniat menurut
aturannya, mengikuti syarat-syarat agar tidak mengganggu tata tertib alam,
berpantang (pamali), pengertian simbol-simbol, pelaksanaan tata ritual, dan
pembacaan do’a dan mantra yang diperlukan (Pelly, 1975:48).
Dalam pembuatan perahu pinisi
diperlukan seperangkat peralatan pertukangan. Pada masa lampau peralatan yang
dipakai dalam pembuatan perahu masih sangat sederhana dan setiap jenis alat
mempunyai fungsi dan kegunaan masing-masing. Alat-alat pertukangan dalam
pembuatan perahu adalah sebagai berikut:a) kapak digunakan untuk menebang,
memotong dan membentuk bahan perahu sesuai dengan yang diinginkan, b) gergaji
digunakan untuk membelah balok kayu yang akan dipakai pada dinding perahu dan
lantai perahu, c) pahat digunakan dalam pembuatan perahu adalah membuat lambung
serta meratakan pinggir papan atau balok, d) bor digunakan untuk memasang
pasok/pen (pasok kayu) juga untuk memperkuat pemasangan papan atau kmponen
lain, e) Bingkul (cangkul) digunakan untuk meratakan permukaan perahu atau
papan, balok atau persambungan kayu, f) Singkolo digunakan untuk merapatkan
antara sisi atau ujung papan, g) Parang digunakan untuk memproduksi paku dan
kayu serta beberapa bahan yang dibutuhkan, h) Catok digunakan untuk merapatkan
papan pecah atau menarik kayu yang keras mengikuti lengkungan yang dikehendaki,
i) Palu digunakan untuk memukul kayu yang sementara dipasang, j) Bassi/Bacci digunakan
untuk membuat tanda pada bagian kayu yang akan diluruskan/dibelah, k) Ketam.
Dalam pembuatan perahu di
Tanah Lemo bahan-bahan yang digunakan meliputi kayu dan baruk. Untuk digunakan
kain, plastik (karoro), tali plastik dan tali ijuk. Bahan lainnya yaitu paku,
jarum besar, lem, pasak kayu dan lain-lain. Jumlah bahan-bahan yang digunakan
disesuaikan dengan besarnya perahu yang akan dibuat.
Sistem tradisional pembuatan
perahu di Tanah Lemo Bulukumba dibagi dalam 3 tahap, yakni: (1) meramu
perkayuan di hutan, (2) pembuatan perahu di bantilang (tempat pembuatan perahu)
; dan (3) peluncuran perahu ke laut.
(1) .
Meramu perkayuan di hutan
Bahan baku utama dalam
pembuatan perahu adalah kayu. Kayu yang tidak mudah pecah, kedap air dan daya
susutnya relatif kecil. Kayu yang memenuhi persyaratan yaitu kayu suryan (vitec
cofussus reinw: Latin, naknasa: Konjo, bitti: Bugis), kayu jati (tecona,
grandis :Latin). Bahan-bahan kayu tersebut digunakan untuk bagian perahu yang
terbenam dalam air, seperti lunas, sotting dan papan terasa papan keras.
Upacara penebangan kayu,
dilaksanakan untuk memohon kerelaan penguasa alam agar hendaknya merelakan
pohon untuk ditebang dan diambil untuk dijadikan bahan baku perahu. Dengan
melakukan upacara itu, diharapkan pekerja dapat lancar dan para tukang, selamat
dalam mengerjakan tugas-tugasnya.
Pelaksanaan upacara yang
bersifat ritual dalam pembuatan perahu di Tanah Lemo, dilakukan sendiri oleh
punggawa. Itulah sebabnya punggawa sering disebut “panrita lopi” (orang pandai
dalam pembuatan perahu). Bila hari yang baik tersebut sudah ditentukan, berangkatlah
seluruh tukang yang akan mengambil bagian pada pembuatan perahu dengan segala
perlengkapan sampai di tempat tujuan. Sambil beristirahat kepala tukang
meneliti atau mencari pohon yang akan dijadikan kalebiseang (lunas perahu),
sebab kalabiseang inilah yang pertama kali dicari dan ditebang yang dilakukan
oleh punggawa.
(2).Tata Cara Pembuatannya
Setelah keseluruhan kayu
terkumpul di bantilang, maka punggawa mencari hari yang baik dan waktu yang
baik untuk memulai pekerjaan pembuatan perahu. Berdasarkan pekerjaan pokok,
seluruh pekerjaan pembuatan perahu dapat dibedakan: (a) annattra’ kelebiseang
(memotong lunas) ; (b) pemasangan badan perahu, (c) pemasangan rangka
(buku/tulang) dan bankengsalara (fondasi tiang layar), (d) pemasangan badan ketabang
(dek), ambeng (geladak), kamar,dan (e) pemasangan tiang layar, anjong, guling
(kemudi), layar, memasang jangkar, mendempul dan mencet.
Annattara’ Kalebiseang
(pemotongan lunas) adalah salah satu kegiatan awal dalam pembuatan perahu yang
mengandung unsur ritual. Annattra’ mengandung pengertian memotong ujung lunas
untuk disambung dengan kedua penyambung. Lunas dalam perahu tradisional adalah
merupakan potongan utama yang diterjemahkan sebagai jiwa perahu (Liebner,
1996:2). Dalam pekerjaan ini, memasang lunas perahu dengan dua peny`ambung
merupakan aktifitas ritual yang penting.
Potongan lunas yang berbeda
di hilir langsung dilarikan oleh seorang sawi yang dibuang ke laut sebagai
tolak bala, sedangkan potongan lunas yang berbeda dihulu dibawa dan disimpan di
rumah pemilik perahu. Potongan tersebut dianggap sebagai istri di rumah selama
suami (perahu yang berlayar) menuntut rezeki atau mencari nafkah (Caro,
1988:12).
Setelah lunas disambung,
diadakan pengukuran untuk dijadikan beberapa ruas (tari-taripang).
Langkah-langkah yang dilakukan ole punggawa dan sawi setelah pungukuran dan
pembuatan tari tarapang (ruas) adalah sebagai berikut:
a.
Pemasangan Pagepek. Pegepek
adalah papan penjepit pada sisi kiri dan kanan lunas perahu.
b.
Pemasangan Uru Sangkara. Uru
sangkara merupakan papan pertama yang dipasang dilakukan setelah pemasangan
pegepek.
c.
Pemasangan Sotting. Sotting
adalah dasar perahu bagian depan dan belakang perahu.
d.
Pemasanga Kanjai. Kanjai
adalah papan perahu yang sampai di sotting.
e.
Pemasangan papan terasa’.
Papan terasa’ adalah dinding perahu bagian bawah.
f.
Pemasangan papan lama. Papan
lamma adalah papan yang disusun setelah papan terasa’.
g.
Pemasangan rangka. Pemasangan
rangka ditujukan untuk memperkuat dinding perahu.
h.
Pemasangan Lepe. Lepe adalah
balok panjang yang melintang dari depan ke belakang diatas kelu (rangka).
i.
Pemasangan Kalang. Kalang
ialah balok yang dipasang melintang di pinggir kiri dan kanan perahu.
j.
Pemasangan Bangkeng Salara.
Bangkeng salara adalah tempat tiang agung melekat.
k.
Panttumpuan Anjong adalah
tumpuan ajungan untuk menguatkan posisi anjungan.
l.
Pemmasangan Dek. Dek perahu
terdiri atas balok-belok dan papan sebagai lantai.
m.
Pemasangan Pallu-pallu untuk
menambah kekuatan pasangan bangkeng salara sesudah katabang selesai.
n.
Pemasangan kelengkapan perahu.
Pekerjaan beberapa komponen bagian belakang perahu seperti sanrerang guling
(sandaran kemudi)
o.
Pemasangan Anjong. Anjong
adalah anjungan perahu pada depan perahu. Sebelum pemasangan anjong, bahan
anjong dibentuk sedemikian rupa hingga mencapai ukuran yang diinginkan.
p.
A’panisi setelah badan perahu
terpasang dan tepu tarik (pinggir papan lama) sedah diratakan, maka sawi
melakukan pekerjaan yang disebut a’panisi. A’panisi ialah memasukkan baruk pada
pertemuan/sambungkan papan.
q.
Pemasangan gala-gala.
Gala-gala ialah memasanang dempul khusus pada semua pertemuan papan yang telah
disisipi baruk.
r.
Allepa. Aleppa adalah
mendempul seluruh permukaan papan terasa’ dengan kapur yang telah diramu
khusus.
s.
Mendirikan tiang agung. Tiang
agung beserta beserta perlengkapannya didirikan setelah perahu diluncurkan.
t.
Pemasangan layar dan tali
temali. Sesudah pemasangan tiang dilanjutkan dengan pemasangan layar dan tali
temali.
(3)
Peluncuran perahu ke laut (appanaung lopi)
Upacara peluncuran perahu ke
laut merupakan puncak dalam pembuatan perahu. Dalam upacara ini banyak banyak
membutuhkan tenaga dan biaya. Secara tiknis, untuk mendorong ke laut, perahu
pinisi yang bertonase 200 ton, membutuhkan sekitar 200 orang, agar perahu dapat
keluar dari bantilang. Banyaknya orang yang datang pada datang pada hari
peluncuran dirasakan oleh pemilik perahu sebagai ukuran penghargaan dalam
status sosial masyarakatnya. Ternyata orang-orang desa yang datang ke upacara
peluncuran, tidak hanya tidak hanya didorong oleh kekuatan sosial yang ada,
tetapi juga karena tertarik kenduri tedong (kerbau) yang dewasa ini merupakan
tradisi dalam peluncuran perahu di Tanah Lemo.
Upacara peluncuran dipimpin
oleh seseorang yang memberikan aba- aba komando dimulai dengan aba-aba
persiapan... laaar lambaaatee... Aba-aba tersebut disambut dengan gemuruh oleh
hadirin dengan ucapan ... Taratajooo (kami siap). Komando terakhir menggema
dengan suara tinggi oooorilailahaaa, kemudian serentak mereka mendorong atau
menarik sambil berteriak bersama-sama: hela-hela dan seterusnya, sehingga
perahu bergerak sedikit demi sedikit. Apabila perahu bergerak meluncur, istri
pemilik perahu dengan beberapa wanita lainnya menaburkan beras ke atas perahu.
Menjelang lunas perahu mencium air, mereka harus mempersiapkan takal (alat
peluncur perahu), agar perahu yang yang didorong dapat terus mengapung di laut.
Acara ini ditutup dengan kenduri kenduri (makan bersama) di pantai.
Keterampilan dan keahlian
yang dimiliki oleh punggawa dan para sawi merupakan keahlian yang dipunya oleh
masyarakat pedesaan, dalam hal ini masyarakat penggrajin di Tanah Lemo
Bulukumba. Keterampilan dan keahlian ini diperoleh melalui pendidikan seumur
hidup yang diwarisi dari generasi ke generasi sesuai dengan kebutuhan dalam
kehidupannya (Mubyarto, 1985:388).
REFERENSI
:
Ahimsa
Putera, Heddy Shri. 1988. Minawang,
Hubungan Patron Klien di Sulawesi
Selatan. Yogyakarta : Gama University Press.
Andi
Fatmawati, 1997. Teknologi Perahu
Tradisional “ Salompong sebagai Cikal Bakal Perahu Pinisi”. Dalam Tomanurung
Bulletin Arkeologi. Ujung Pandang: Balai Arkeologi.
Borahima,
Ridwan dkk. 1977. Jenis-jenis Perahu
Bugis Makassar. Jakarta : Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Direktorat
Jendral Kebudayaan Departemen P & K.
Caro,
Pius. 1988. Phinisi Nusantara, mengarungi lautan 11.000
mil Jakarta Vancouver. Jakarta : Kreshna Preess.
Cartesao,
Armando . 1944. The Suma Orientale of Tome
Pires: an Account of the east from the Red Sea to Japan, written at Malacca
1512-1515. London : Hakhtyl Soc.
Publication.
Cense,
A. A. & H. J. Heeren. 1972. Pelayaran
dan pengaruh Kebudayaan Makassar dan Bugis di Pantai Utara Australia.
Jakarta: Bhatara.
Demmallinao
B. Eymal. 1993. Sistem Pengetahuan lokal
Bugis Makassar Konjo mengenai Kebaharian ( Pa’lopian). Ujung Pandang :
Laporan Penelitian UNHAS.
Gibson
, Hill, C. A. 1953. The origin of the Trengganu Pinas. JIBRAS, 26/I.
Hadisumarno,
Sularto. 1986. Penelitian Tentang
Konstruksi Perahu Layar Tradisional ( Phinisi ) dalam rangka Meningkatkan
Keselamatan Pelayaran. Ujung Pandang: LEPHAS UNHAS.
Horridge G. A. 1979.
The Konjo Boatbuilders and the Bugis Perahu. London: Nat. Maritime Museum.
Mom 40.
Liebner
, H. H . 1998. About History and Customs
of the Village of Panrang Luhuk. Ujung Pandang: P3PMP UNHAS.
Liebner, H. H. 1996. About History and Techniques of Tanah Beru
Boat-Building. Ujung Pandang: P3PMP UNHAS.
Mangemba, H. D. 1956. Kenallah Sulawasi Selatan. Jakarta:
Timur Mas.
Manguin,
PY. 1985. Research of the Ships of
Srivijaya. Report for SPAFA Consulate Workshop On Archaelogical and
Environmental Studies. Jakarta : Padang.
Mubyarto.
1985. Peluang kerja dan Berusaha di
Pedesaan. Yokyakarta : FEUGM.
Mukhlis. 1990. “ Perahu Bugis: Industri Kemaritiman di
Pedesaan Sulawesi” dalam Sayogyo dan Mangara Tambunan: Industrialisasi Pedesaan.
Bogor : IPB-ISEI.
Mukhlis.
1991. Teknologi dan Perubahan Sosial
Kawasan Pantai. Ujung Pandang: P3PMP UNHAS.
Nooteboom,
C. 1951. Perihal Perkapalan dan Pelayaran
di Indonesia. Jakarta: De Moderne Boek Handel.
Pabittei, Aminah (ed). 1995. Pinisi, Perahu khas Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Proyek
Pembinaan Permuseuman Sul-Sel.
Pelly,
Usman. 1975. Ara dengan Perahu Bugisnya,
Sebuah studi mengenai pewarisan Keahlian Orang Ara kepada Anak dan
Keturunannya. Ujung Pandang: PLPIIS.
Salman, Darmawan. 1993. Pengembangan Organisasi Produksi dan Mobilitas Okupasi pada masyarakat
Industri Perahu Bugis. Bogor:IPB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar