Kamis, 07 Februari 2013

asal usul perahu pinisi dalam berbagai versi


ASAL USUL  DAN KEAHLIAN PEMBUATAN PERAHU PINISI DI TANAH LEMO BULUKUMBA (TINJAUAN dalam BERBAGAI VERSI)
Oleh : Syahrul Amar
(staf Pengajar pada Program Studi Pendidikan Sejarah STKIP HAMZANWADI SELONG Lombok Timur)


A.  Perahu sebagai Simbol Budaya Bangsa
Potensi laut sebagai sumber mata pencaharian hidup masyarakat, membutuhkan kearifan tangan manusia. Laut yang luas mengandung keunikan, nuansa keindahan, serta kekayaan sumber ekonomi. Jika budaya laut semakin rapuh dan tidak memiliki kearifan kultural yang dalam terhadap riak gelombang dan samudera, maka laut ini tidak berarti apa-apa. Kearifan kultural yang dimaksud disini adalah seni dan teknologi ( art and technology ) yang mampu meningkatkan kesejahteraan hidup, baik masa kini maupun masa yang akan datang.
            Demikian luas dan kayanya laut Indonesia, sehingga banyak orang menduga bahwa di masa depan, laut menjadi salah satu alternatif yang potensial sabagai daya dukung terhadap kehidupan dan penghidupan manusia, setelah semakin sempitnya daratan dan terjadinya degrasi sumberdaya alam di darat yang tidak seimbang dengan laju pertumbuhan penduduk. Kondisi geografis yang sebagian besar terdiri dari laut, memungkinkan tumbuh dan berkembangnya sektor-sektor perikanan, pariwisata, perhubungan laut dan pertambangan minyak.
            Tidak banyak suku bangsa di Indonesia yang sangat intim kehidupannya dengan perahu dan laut, seperti masyarakat Sulawesi Selatan yang lazim dikenal dengan orang Bugis Makassar. Perahu-perahu yang menjadi sarana angkutan laut mereka lebih dikenal dengan nama perahu Bugis. Sejak berabad-abad yang lalu telah mengarungi nusantara, menguasai pelayaran antara pulau. Bahkan pada zaman keemasan kerajaan Gowa pada abad XVI dan XVII, perahu-perahu ini telah sampai ke Srilangka, Fhilipina, Kamboja sampai ke pantai Australia Utara ( Pelly, 1975 ).
Sejarah perahu tradisional tidak terlepas kaitannya dengan perkembangan budaya Sulawesi Selatan khususnya dan tidak terlepas dari lingkup sejarah perjalanan kebaharian bangsa Indonesia pada umumnya. Sejarah kebaharian Suku Bugis, Makassar dan Mandar berkaitan dengan perkembangan perahu sejak adanya cikal bakal perahu sampai terciptanya perahu pinisi dalam konteks kebaharian di tanah air.
 Industri perahu merupakan bagian dari industri pedesaan. Peranannya dalam memacu perkembangan desa pentai tidak bisa diabaikan, khususnya dalam penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi regional. Salah satu bentuk industri pendesaan itu adalah industri pembuatan perahu. Orang-orang Bugis membuat perahu untuk keperluan angkutan antar pulau, sebagai alat transportasi untuk merantau dan keperluan menangkap ikan. Perahu tersebut sekaligus telah menjadi simbol budaya maritim mereka.
            Sungguh sangat menarik bahwa perahu tersebut, ternyata dibuat oleh ahli-ahli perahu yang berasal dari Tanah Lemo dan desa Ara di Sulawesi Selatan. Kepandaian meraka dalam membuat perahu telah diwariskan secara turun temurun sampai saat sekarang ini. Potensi ekonomi rakyat yang masih sanagat sederhana terutama sistem peralatan dan teknik pembuatannya, memerlukan sesuatu penemuan baru dalam menunjang peningkatan produksi. Dari hal tersebut diharapkan menjadi pangkal terjadinya perubahan sosisal dan ekonomi rakyat.
            Pewarisan keterampilan dan pengetahuan membuat perahu melalui sistem pemagangan kepada anak keturunannya, sehingga keterampilan tersebut tetap bertahan sampai sekarang. Para pengrajin khususnya punggawa ( ahli pembuat perahu ), harus memiliki dua keahlian magis. Keduanya dipadu menjadi satu, sehingga keberadaan teknologi ini sulit tertandingi. Pada masa sistem pembuatan perahu secara tradisional, punggawa memiliki multiperan yakni sebagai tukangyang ahli dalam membuat perahu dan meguasai tata ritual pembuatan perahu, pemilik modal serta patron bagi sawi yang dipimpinnya.
            Suatu bukti yang sangat mengagumkan adalah peristiwa kebaharian pada penghujung abad XX dengan pengembangan perahu pinisidalam kebaharian internasional. Peristiwa-peristiwa tersebut adalah : (1) peristiwa pelayaran perahu pinisi Nusantara ke Vancouver Canada tahun 1986, dengan tujuan promosi budaya (2) pelayaran perahu paddewakang bernama Hati Maregge dari Makassar ke tanah Maregge Australia Utara tahun 1988 di bawah sponsor Universitas Hasanuddin bekerjasama denagn museum ilmu dan seni Darwin, (3) peristiwa pelayaran perahu pinisi Amanna Gappa ke Madagaskar tahin 1991, dengan tujuan selain untuk membuktikan bahwa perahu pinisi layak samudra juga sekaligus untuk membuktikan mobilitas warga suku Bugis Makassar ke Madagaskar beberapa tahun silam, (4) peristiwa pelayaran perahu pinisi Damar Sagara ke Jepang tahun 1992, yang bertujuan untuk membuktikan keunggulan perahu tradisional pinisi sekaligus juga untuk promosi budaya. Keempat peristiwa pelayaran tersebut  membuktikan bahwa karya yang diciptakan oleh pengrajin perahu di Tanah Lemo Bulukumba Sulawesi Selatan adalah sebuah karya yang luar biasa dan diakui oleh dunia internasional.

B.  Asal usul Perahu Tradisional/Pinisi
Keberadaan perahu tradisional di Sulawesi Selatan merupakan warisan budaya yang sangat tinggi, namun dalam menelusuri sejarah (asal usul) bagaimana perahu itu muncul sebagai sebagai karya budaya masyarakat Sulawesi Selatan menimbulkan banyak versi; baik versi yang berkembang pada masyarakat pengrajin perahu, tokoh masyarakat, sejarawan, budayawan maupun dari ilmuwan asing (Eropa).
Di dalam legenda yang berbentuk karya sastra I Lagaligo telah dipaparkan bagaimana Sawerigading bersama dengan perahu layarnya yang besar melanglang buana, bukan saja seantero nusantara, tetapi samapai di mancanegara. Hal ini membuktikan bahwa orang Sulawesi Selatan sejak zaman dahulu telah jaya di lautan. Di zaman jayanya kerajaan Gowa di bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin, armada laut kerajaan Gowa terkenal keberaniannya dan keperkasaannya telah membuktikan dengan usaha perluasan kekuasaan ke beberapa wilayah termasuk Kalimantan bahagian Timur, bali, bahkan sampai ke bagian utara benua Australia. Menurut Peter G. Spillet, seoran sejarawan Australia Utara, telah terukir di layar sejarah bahwa orang asing yang pertama mendarat di Benua Australia adalah orang Makassar (Pabittei, 1995:19). Peter G. Spillet yang mendapatkan julukan daeng Makkule dari orang makassar, membantah catatan sejarah yang mengatakan bahwa orang pertama datang berkunjung ke benua Australia adalah Abel Tasman (Belanda) pada tahun 1642, James Cook yang berkebangsaan Inggris. Daeng Makulle telah berhasil meneliti bukti-bukti sejarah berupa hubungan orang Makassar dengan orang Marege ( Pabittei,1995:19).
             Sejarah perahu di Indonesia dapat juga ditelusuri melalui sejarah fakta-fakta sejarah Sriwijaya yang menjelaskan sejarah perahu dan perkapalan awal di Asia Tenggara. Perspektif sriwijaya ini berusaha memaparkan beberapa tempat arkeologi kapal. Bukti-bukti arkeologi dari sriwijaya memeperlihatkan adanya perahu berikat dan kayu gergaji, Ponsia tahum 293 Masehi dan perahu berikat Butuan “Baraggay” tahu 320 Masehi serta empat potongan kayu milik perahu berikat dan papan gergaji yang disimpan di museum Wat Khlong Tom pada pertengahan millineum pertama Masehi (Manguin,1985:24) penggalian tempat dalam millenium pertama dan di awali millenium kedua sesudah masehi dalam studi Sriwijaya memebrikan pembuktian tentang tehnik pembuatan perahu/kapal sekarang ini. Selanjutnya Manguin juga mengungkapkan pada tahun 1930 ditemukan bukti proses pendangkalan dan sisa-sisa kapal tua di sungai berlumpur Takua Pa.
             Dari sumber lain mengenai sejarah perahu ini, dapat diubgkap bahwa ada perahu yang disebut dengan perahi Pinas Trengganu dibuat oleh anggota kelompok dari anak buah kapal layar Prancis yang telah ambruk di pantai Trengganu pada waktu pemerintahan Baginda Omar (1839-1876). Anak buah kapal tersebut menikahi gadis cina dari Kuala Marang dan menetap di Kuala Trengganu untuk mencari nafkah sebagai ahli pembuat perahu (Gibson,1953:2). Selanjutnya, setelah tampilnya catatan tentang perahu Trengganu, C.C Brown menjelaskan bahwa yang membentuk keluarga di Trengganu bukanlah pelaut yang ahli membuat perahu, tetapi orang Eropa yang sampai ke Trengganu. Pada tahun 1846, Sultan Trengganu mempunyai sebuah skunyer dan beberapa penduduk asli belajar tentang seni pembuatan perahu di Singapura dan dibantu oleh tukang kayu Cina yang merupakan pekerja perahu yang dapat diandalkan. Sekarang Pinas dibuat dengan dua layar betten Cina dan sebuah layar yang besar, seperti yang dilukiskan dengan sketsa Warington Smith tahun 1890-1900. Pada tahun 1900 perahu semacam inibegitu populerdi perairan Melayu.
        Seperti yang dilakukan oleh laskar india, Melayu, Bugis, Makassar, Mandar dan Buton telah banyak mempergunakan secara luas nama-nama pengangkutan kapal Eropa di perairan Asia. Kapal- kapal Eropa dan kapal-kapal asli Asia, dalam pembuatanya menerapan teknis-teknis Barat dan ini berlangsung sebelum memperkenalkan Pinisi. Pinisi Bira yang dikenal di Sulawesi Selatan pertama-tama dibuat oleh orang ara Sulawesi Selatan pada tahun 1900 ( Liebner, 1996: 1 ) .
        Perahu juga banyak dibuat menurut pola orang Eropa. Seni pembuatan perahu tersebut diajarkan oleh salah seorang pekerja Baginda Omar, sejenis perahu kecil buatan Singapura untuk dipakai sebagai model. Kayu yang dipakai dalam pembuatan perahu ini adalah kayu jati yang diimpor dari Siam.
        Di Indonesia, tidaklah masuk akal jika orang yang datang dan menetap tidak mengenal alat pelayaran karena Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan. Untuk melintasi laut-laut dan selat-selat dari pulau ke pulau pasti dengan perahu/kapal. Jejak-jejak zaman silam selalu menunjukkan tanda-tanda bahwa manusia hidup berpindah-pindah menyeberahi laut. Indonesia adalah “Kerajaan Pulau” yang memiliki laut , sungai, danau dan rawa-rawa, sehingga tidaklah mengherankan bila bermacam-macam bentuk perahu diketemukan disini.
Bentuk yang pertama sebagai alat pelayaran sebagaimana yang dikemukakan oleh Nooteboom (1951:2) adalah perahu yang dibuat dari batang pohon yang dikorek (model lesung). Untuk membuat perahu semacam ini harus merupakan kayu pilihan. Mengorek batang pohon semacam itu kelihatan sangat sederhana tetapi sebenarnya sulit sekali, perlu pengalaman dan pengetahuan yang luas. Orang Bugis Makassar menamai jenis perahu ini dengan nama Lepa-lepa (sampan). Perahu jenis ini pada mulanya dibuat dari kayu gelondongan besar dengan cara pengerukan bagian muka dan belakang dibuat tipis dan lancip agar dapat bergerak maju. Sampan dari sebatang pohon ada gambar di Candi Borobudur serupa dengan perahu-perahu yang dipergunakan sekarang ini. Tetapi perahu-perahunya besar, berlainan dari yang kita kenal kini. Pengayuh-pengayuhnya lebih banyak. Semua perahu-perahu bwsar pada gambar Candi Borobudur memakai candik. Sekarang ini di Indonesia tidak lagi tedapat perahu-perahu besar yang memakai cadik . hanya sampan-sampan kecil yang mempergunakan cadik.
        Catatan sejarah perjalanan Tome Pires (1512-1515) dapat digarisbawahi bahwa perahu Bugis sudah muncul diperairan nusantara sejak awal abad 16 dan pada saat itu  perahu Bugis telah diidentifikasikan sebagai jenis tersendiri yang disebut dengan pengajava. Di duga jenis ini adalah perahu yang dikenal dengan nama Pajala. Selain berdagang, pelaut-pelaut Makassar juga terkenal sebagai bajak laut ulung yang disegani ( Cartesao, 1944:89-90).
        Asal-usul perahu tradisional di Tanah Lemo dapat ditelusuri dalam legenda yang berkembang dikalangan tukang perahu dati Tanah Lemo. Tersebutlah seorang ahli agama islam (wali) yang bernama Amir Daeng Salatang. Suat malam wali tersebut kedatangan seorang wali lain secara gaib dalam mimpinya. Dia meminta Daeng Sallatang membuat perahu untuk menjemput orang-orang Smbawa yang akan hayut karena letusan gunung Tambora. Seetelah memberi petunjuk cara pembuatan perahu, bayangan gaib tersebut menghilang. Konon, sang wali memang datang dari Sumbawa untuk menyebarkan agama islam di sana. Pada saat perahu yng dibuat oleh Daeng Sallatang sudah selasai, dipakailah perahu tersebut untuk menolong orang orang hanyut. Menurut orang-orang Lemo-lemo, karena kejadian ini maka di Lemo-lemo ditemukan keturunan orang Sumbawa. Mereka dulunya menjadi budak, bahkan ada yang diperjualbelikan. Dari legenda ini orang Lemo-lemo mengklaim bahwa perahu memeng diciptakan langsung oleh nenek moyang mereka (Salman, 1993:40-41). Karena yang dipercayai sebagai pembuat perahu yang pertama adalah seorang ahli agama islam sehingga beberapa aspek pembuatan perahu menggunakan bahasa arab dalam do’a dan bacaan baik pada saat penebangan pohon kayu maupun pada saat pembuatan perahu yang selalu dihubungkan dengan ajaran islam.
            Versi asal usul perahu di Tanah Lemo dan Ara Bulukumba Sulawesi Selatan, maka versi yang sangat terkenal adalah legenda terdampar perahu Sawerigading. Dalam legenda tersebut dikisahkan pada waktu sawerigading jath cinta kepada seorang gadis bernama We Tenri Abeng yang setelah ditelusuri ternyata gadis itu adalah adik kembarnya. Sawerigading ini adalah putra mahkota kerajaan Luwu. Keinginannya untuk mengawini adik kembarnya menimbulkan amanah Dewan Adat Kerajaan Luwu. Cinta Sawerigading ini rupanya tidak dapat pula diterima oleh We Tanri Abeng. Dewan Adat Kerajaan Luwu mengancam mereka apabila niat tersebut diteruskan. Agar tidak menimbulkan amarah dari Dewan Adat, maka We Tantri Abeng menyarankan agar Sawerigading menemui seorang gadis yang serupa dengan wajahnya. Gadis tersebut bernama We Cudai, seorang putri raja di negeri Cina (Mangemba,1956:48:59).
Sawerigading dengan perasaan berat menerima nasehat adik kembarnya, namun dia tidak bisa berlayar ke negeri Cina karna tidak punya perahu. We Tanri Abeng menunjukkan sebatang pohon kayu besar yang tumbuh di tengah hutan untuk dijadikan perahu. Ternyata pohon itu tidak dapat ditumbangkan, walau ditebang beberapa hari ditebang beramai-ramai. Dengan perasan iba, We Tanri Abeng mengadu kepada kakeknya La Toge Langi (Batara Guru). Sang kakek menyuruh Sawerigading menunggu di tepi pantai. Dengan kekuatan magis Batara Guru, pohon kayu tersebut kemudian ditelan bumi dan muncul menjadi sebuah perahu di pantai tempat Sawerigading menunggu. Dalam mitologi Bigis, perahu ini dinamakan I Lawarlenreng (Mukhlis,1989:4).
            Selanjutnya kisah tersebut menceritakan tentang keberangkatan Sawerigading ke negeri Cina menemui We Cudai dengan menggunakan perahu. Sebelum berangkat Sawerigading bersumpah dihadapan kakeknya, bahwa ia akan kembali lagi ke Luwu. Akhirnya Sawerigading berhasil menemui We Cudai, gadis yang diceritakan adiknya, namun Raja Cina menolak lamarannya, sehingga terjadilah pertempuran. Sawerigading dapat memenangkan pertempurantersebut dan akhirnya menangawini We Cudai. Demikianlah dia hidup berkeluarga di negeri Cina beberapa lama, sampai dia rindu untuk kembali ke Luwu, Dengan menggunakan perahu yang dibuat oleh kakeknya dahulu, Sawerigading bersama keluarganya meninggallkan negeri Cina menuju Luwu. Ternyata dia lupa terhadap sumpahnya untuk tidak kembali lagi ke Luwu. Di tengah perjalanan perahu Sawerigading dihantam gelombang dan badai sehingga perahu tersebut hancur bekeping-keping.
            Perahu Sawerigading yang berkeping-keping terdampar di beberapa pantai. Lunas perahu dan papan dek (katabang) terdmpar di pantai Lemo-lemo. Tiang layarnya terdampar di pantai Bira. Hal ini yang menyebabkan orang Bira sangat terkenal sebagai pelaut dan pelayar ulung, sedangkan badan perahu terdampar di pantai Ara. Orang-orang Ara mengumpulkan keping-kepingan papan, dimana sebelumnya mereka hanya mampu membuat perahu-perahu kecil dari sebatang pohon yang dikorek (model lesung) dan lepa-lepa (sampan) yang diperlukan nelayan untuk menangkap ikan.
            Berdasarkan dari kisah ini, orang Ara dan orang Lemo-lemo percaya behwa seluruh susunan (konstruksi) perahu Sawerigading itu oleh nenek moyang mereka, kemudian dibakukan dan dijadikan pola dasar dari perahu yang sekarang dikenal dengan nama Pinisi (Pelly,1975:11). Antara orang-orang Ara dan orang Lemo-lemo ingin mengaktualisasikan diri sebagai orang yang pertama kali menciptakan perahu, begitu pula sebaliknya orang Ara.
            Versi orang-orang Lemo-lemo dan orang Ara berdasar ada legenda yang sama dan kedua desa tersebut bertetangga dengan wilayah kecamatan Bontobahari kabupaten Bulukumba, sehingga unsur budaya tidak perlu dipermasalahkan. Begitu pula jenis perahu yang diproduksi adalah sama, namun dari segi kualitas ditentukan tingkat keahlian masing-masing.
            Ada ungkapan bahwa orang Lemo-lemo yang pertama menciptakan perahu, sedang dari luar dikenal bahwa orang Ara adalah ahli pembuat perahu Pinisi dari Bugis. Hal ini dapat diterima, karena orang Ara keluar dari desanya mencari nafkah dan profesi sebagai pengrajin perahu. Ini disebabkan kondisi alam desanya tidak mungkin digarap untuk pertanian.
            Dalam beberapa tulisan dari abad terakhir, Ara belum disebut sebagai pusat pembuatan perahu, namun sekelompok orang dari Ujung Tenggara Sulawasi yang disebut Limo-limo telah diperkejakan dalam pembuatan perahu atas penawaran di semua wilayah nusantara. Dewasa ini pembuat perahu dari konjo yang membuat perahu besar di Kalimantan, Jawa, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah masih berada di bawah orang Ara (Liebner, 1996:1).
            Orang  Ara dan orang Lemo-lemo adalah serumpun dalam suatu wilayah geografis yang tidak bisa dipisahkan. Kalau orang Ara menerobos ke daerah ke daerah lain untuk mengembangkan karir,sehingga dikenal dengan umum behwa mereka ahli pembuat perahu, merupakan konsekuensi logis dari suatu pengembangan budaya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa baik orang Lemo-lemo maupun orang Ara adalah sama-sama pencipta perahu tradisional yang berasal dari wilayah Kecamatan Bontubahari kabupaten Bulukumba.

C.  Keterampilan dan Keahlian Membuat Perahu pada Masyarakat Pengrajin
Masyarakat Tanah Lemo, yang berdiam di wilayah kecamatan            Bontohari adalah ahli membuat perahu yang diwarisi sejak dulu kala turun temurun dari nenek moyang mereka. Keahlian mereka adalah potensi sumber daya manusia yang dijadikan sebagai profesi, sehingga dapat memberikan pendapatan yang layak, guna memenuhi kebutuhan keluarganya.
Keahlian yang dimiliki oleh ahli pembuat perahu di Tanah Lemo, dibagi dua macam keahlian yaitu, keahlian teknis dan keahlian magis. Keduanya dapat dipadu menjadi satu untuk menghasilkan suatu produk yang berkualitas tinggi dan dapat diandalkan dalam pelayaran.
Tokoh utama dalam keahlian membuat perahu tradisional adalah punggawa. Dalam konteks ini, punggawa berfungsi sebagai kepala tukang atau tukang ahli, menujukkan fungsinya secara vertikal mengkoordinir para sawi dan pabo. Mereka bekerja dengan penuh imajinasi yang tinggi dan sangat dipengaruhi dengan budaya sakral.
Keahlian teknis yang dimiliki punggawa san sawi adalah merupkan modal besar baginya untuk menghasilkan produksi yang bagus sekaligus memperoleh penghasilan yang tinggi. Keahlian teknis tersebut meliputi: -Keterampilan teknis: penggunaan alat-alat produksi pertukangan, memasang dan menyambung bagian-bagian/kompoen perahu, penguasaan keseluruhan konstruksi perahu.-Pengukurang danpembuatan pola perahu: pengenalan bentuk setiap bagian/ komponen perahu, kecakapan mengukur dan membuat perahu. – Meramu perkayuan di hutan: pengenalan hutan, penegenalan jenis dan daya guna kayu untuk setiap bagian perahu dan perhitungan kebutuhan seluruh pekayuan. –Kepemimpinan dalam ramu perkayuan, perencanaan, pengorganisasian, pengawasan dan penilaian (evaluasi).
Sedangkan keahlianmagis yang dimiliki oleh punggawa dalam pwmbuatan perahu meliputi: Harus berniat menurut aturannya, mengikuti syarat-syarat agar tidak mengganggu tata tertib alam, berpantang (pamali), pengertian simbol-simbol, pelaksanaan tata ritual, dan pembacaan do’a dan mantra yang diperlukan (Pelly, 1975:48).
Dalam pembuatan perahu pinisi diperlukan seperangkat peralatan pertukangan. Pada masa lampau peralatan yang dipakai dalam pembuatan perahu masih sangat sederhana dan setiap jenis alat mempunyai fungsi dan kegunaan masing-masing. Alat-alat pertukangan dalam pembuatan perahu adalah sebagai berikut:a) kapak digunakan untuk menebang, memotong dan membentuk bahan perahu sesuai dengan yang diinginkan, b) gergaji digunakan untuk membelah balok kayu yang akan dipakai pada dinding perahu dan lantai perahu, c) pahat digunakan dalam pembuatan perahu adalah membuat lambung serta meratakan pinggir papan atau balok, d) bor digunakan untuk memasang pasok/pen (pasok kayu) juga untuk memperkuat pemasangan papan atau kmponen lain, e) Bingkul (cangkul) digunakan untuk meratakan permukaan perahu atau papan, balok atau persambungan kayu, f) Singkolo digunakan untuk merapatkan antara sisi atau ujung papan, g) Parang digunakan untuk memproduksi paku dan kayu serta beberapa bahan yang dibutuhkan, h) Catok digunakan untuk merapatkan papan pecah atau menarik kayu yang keras mengikuti lengkungan yang dikehendaki, i) Palu digunakan untuk memukul kayu yang sementara dipasang, j) Bassi/Bacci digunakan untuk membuat tanda pada bagian kayu yang akan diluruskan/dibelah, k) Ketam.
Dalam pembuatan perahu di Tanah Lemo bahan-bahan yang digunakan meliputi kayu dan baruk. Untuk digunakan kain, plastik (karoro), tali plastik dan tali ijuk. Bahan lainnya yaitu paku, jarum besar, lem, pasak kayu dan lain-lain. Jumlah bahan-bahan yang digunakan disesuaikan dengan besarnya perahu yang akan dibuat.
Sistem tradisional pembuatan perahu di Tanah Lemo Bulukumba dibagi dalam 3 tahap, yakni: (1) meramu perkayuan di hutan, (2) pembuatan perahu di bantilang (tempat pembuatan perahu) ; dan (3)  peluncuran perahu ke laut.
(1) . Meramu perkayuan di hutan
Bahan baku utama dalam pembuatan perahu adalah kayu. Kayu yang tidak mudah pecah, kedap air dan daya susutnya relatif kecil. Kayu yang memenuhi persyaratan yaitu kayu suryan (vitec cofussus reinw: Latin, naknasa: Konjo, bitti: Bugis), kayu jati (tecona, grandis :Latin). Bahan-bahan kayu tersebut digunakan untuk bagian perahu yang terbenam dalam air, seperti lunas, sotting dan papan terasa papan keras.
Upacara penebangan kayu, dilaksanakan untuk memohon kerelaan penguasa alam agar hendaknya merelakan pohon untuk ditebang dan diambil untuk dijadikan bahan baku perahu. Dengan melakukan upacara itu, diharapkan pekerja dapat lancar dan para tukang, selamat dalam mengerjakan tugas-tugasnya.
Pelaksanaan upacara yang bersifat ritual dalam pembuatan perahu di Tanah Lemo, dilakukan sendiri oleh punggawa. Itulah sebabnya punggawa sering disebut “panrita lopi” (orang pandai dalam pembuatan perahu). Bila hari yang baik tersebut sudah ditentukan, berangkatlah seluruh tukang yang akan mengambil bagian pada pembuatan perahu dengan segala perlengkapan sampai di tempat tujuan. Sambil beristirahat kepala tukang meneliti atau mencari pohon yang akan dijadikan kalebiseang (lunas perahu), sebab kalabiseang inilah yang pertama kali dicari dan ditebang yang dilakukan oleh punggawa.
 (2).Tata Cara Pembuatannya
Setelah keseluruhan kayu terkumpul di bantilang, maka punggawa mencari hari yang baik dan waktu yang baik untuk memulai pekerjaan pembuatan perahu. Berdasarkan pekerjaan pokok, seluruh pekerjaan pembuatan perahu dapat dibedakan: (a) annattra’ kelebiseang (memotong lunas) ; (b) pemasangan badan perahu, (c) pemasangan rangka (buku/tulang) dan bankengsalara (fondasi tiang layar), (d) pemasangan badan ketabang (dek), ambeng (geladak), kamar,dan (e) pemasangan tiang layar, anjong, guling (kemudi), layar, memasang jangkar, mendempul dan mencet.
Annattara’ Kalebiseang (pemotongan lunas) adalah salah satu kegiatan awal dalam pembuatan perahu yang mengandung unsur ritual. Annattra’ mengandung pengertian memotong ujung lunas untuk disambung dengan kedua penyambung. Lunas dalam perahu tradisional adalah merupakan potongan utama yang diterjemahkan sebagai jiwa perahu (Liebner, 1996:2). Dalam pekerjaan ini, memasang lunas perahu dengan dua peny`ambung merupakan aktifitas ritual yang penting.
Potongan lunas yang berbeda di hilir langsung dilarikan oleh seorang sawi yang dibuang ke laut sebagai tolak bala, sedangkan potongan lunas yang berbeda dihulu dibawa dan disimpan di rumah pemilik perahu. Potongan tersebut dianggap sebagai istri di rumah selama suami (perahu yang berlayar) menuntut rezeki atau mencari nafkah (Caro, 1988:12).
Setelah lunas disambung, diadakan pengukuran untuk dijadikan beberapa ruas (tari-taripang). Langkah-langkah yang dilakukan ole punggawa dan sawi setelah pungukuran dan pembuatan tari tarapang (ruas) adalah sebagai berikut:
a.     Pemasangan Pagepek. Pegepek adalah papan penjepit pada sisi kiri dan kanan lunas perahu.
b.     Pemasangan Uru Sangkara. Uru sangkara merupakan papan pertama yang dipasang dilakukan setelah pemasangan pegepek.
c.     Pemasangan Sotting. Sotting adalah dasar perahu bagian depan dan belakang perahu.
d.     Pemasanga Kanjai. Kanjai adalah papan perahu yang sampai di sotting.
e.     Pemasangan papan terasa’. Papan terasa’ adalah dinding perahu bagian bawah.
f.       Pemasangan papan lama. Papan lamma adalah papan yang disusun setelah papan terasa’.
g.     Pemasangan rangka. Pemasangan rangka ditujukan untuk memperkuat dinding perahu.
h.     Pemasangan Lepe. Lepe adalah balok panjang yang melintang dari depan ke belakang diatas kelu (rangka).
i.        Pemasangan Kalang. Kalang ialah balok yang dipasang melintang di pinggir kiri dan kanan perahu.
j.        Pemasangan Bangkeng Salara. Bangkeng salara adalah tempat tiang agung melekat.
k.     Panttumpuan Anjong adalah tumpuan ajungan untuk menguatkan posisi anjungan.
l.        Pemmasangan Dek. Dek perahu terdiri atas balok-belok dan papan sebagai lantai.
m.   Pemasangan Pallu-pallu untuk menambah kekuatan pasangan bangkeng salara sesudah katabang selesai.
n.     Pemasangan kelengkapan perahu. Pekerjaan beberapa komponen bagian belakang perahu seperti sanrerang guling (sandaran kemudi)
o.     Pemasangan Anjong. Anjong adalah anjungan perahu pada depan perahu. Sebelum pemasangan anjong, bahan anjong dibentuk sedemikian rupa hingga mencapai ukuran yang diinginkan.
p.     A’panisi setelah badan perahu terpasang dan tepu tarik (pinggir papan lama) sedah diratakan, maka sawi melakukan pekerjaan yang disebut a’panisi. A’panisi ialah memasukkan baruk pada pertemuan/sambungkan papan.
q.     Pemasangan gala-gala. Gala-gala ialah memasanang dempul khusus pada semua pertemuan papan yang telah disisipi baruk.
r.      Allepa. Aleppa adalah mendempul seluruh permukaan papan terasa’ dengan kapur yang telah diramu khusus.
s.     Mendirikan tiang agung. Tiang agung beserta beserta perlengkapannya didirikan setelah perahu diluncurkan.
t.       Pemasangan layar dan tali temali. Sesudah pemasangan tiang dilanjutkan dengan pemasangan layar dan tali temali.

(3) Peluncuran perahu ke laut (appanaung lopi)
Upacara peluncuran perahu ke laut merupakan puncak dalam pembuatan perahu. Dalam upacara ini banyak banyak membutuhkan tenaga dan biaya. Secara tiknis, untuk mendorong ke laut, perahu pinisi yang bertonase 200 ton, membutuhkan sekitar 200 orang, agar perahu dapat keluar dari bantilang. Banyaknya orang yang datang pada datang pada hari peluncuran dirasakan oleh pemilik perahu sebagai ukuran penghargaan dalam status sosial masyarakatnya. Ternyata orang-orang desa yang datang ke upacara peluncuran, tidak hanya tidak hanya didorong oleh kekuatan sosial yang ada, tetapi juga karena tertarik kenduri tedong (kerbau) yang dewasa ini merupakan tradisi dalam peluncuran perahu di Tanah Lemo.
Upacara peluncuran dipimpin oleh seseorang yang memberikan aba- aba komando dimulai dengan aba-aba persiapan... laaar lambaaatee... Aba-aba tersebut disambut dengan gemuruh oleh hadirin dengan ucapan ... Taratajooo (kami siap). Komando terakhir menggema dengan suara tinggi oooorilailahaaa, kemudian serentak mereka mendorong atau menarik sambil berteriak bersama-sama: hela-hela dan seterusnya, sehingga perahu bergerak sedikit demi sedikit. Apabila perahu bergerak meluncur, istri pemilik perahu dengan beberapa wanita lainnya menaburkan beras ke atas perahu. Menjelang lunas perahu mencium air, mereka harus mempersiapkan takal (alat peluncur perahu), agar perahu yang yang didorong dapat terus mengapung di laut. Acara ini ditutup dengan kenduri kenduri (makan bersama) di pantai.
Keterampilan dan keahlian yang dimiliki oleh punggawa dan para sawi merupakan keahlian yang dipunya oleh masyarakat pedesaan, dalam hal ini masyarakat penggrajin di Tanah Lemo Bulukumba. Keterampilan dan keahlian ini diperoleh melalui pendidikan seumur hidup yang diwarisi dari generasi ke generasi sesuai dengan kebutuhan dalam kehidupannya (Mubyarto, 1985:388).
REFERENSI :
Ahimsa Putera, Heddy Shri. 1988. Minawang, Hubungan Patron Klien di Sulawesi Selatan. Yogyakarta : Gama University Press.
Andi Fatmawati, 1997. Teknologi Perahu Tradisional “ Salompong sebagai Cikal Bakal Perahu Pinisi”. Dalam Tomanurung Bulletin Arkeologi. Ujung Pandang: Balai Arkeologi.
Borahima, Ridwan dkk. 1977. Jenis-jenis Perahu Bugis Makassar. Jakarta : Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen P & K.
Caro, Pius. 1988.  Phinisi Nusantara, mengarungi lautan 11.000 mil Jakarta Vancouver. Jakarta : Kreshna Preess.
Cartesao, Armando . 1944.  The Suma Orientale of  Tome Pires: an Account of the east from the Red Sea to Japan, written at Malacca 1512-1515.  London : Hakhtyl Soc. Publication.
Cense, A. A. & H. J. Heeren. 1972. Pelayaran dan pengaruh Kebudayaan Makassar dan Bugis di Pantai Utara Australia. Jakarta: Bhatara.
Demmallinao B. Eymal. 1993. Sistem Pengetahuan lokal Bugis Makassar Konjo mengenai Kebaharian ( Pa’lopian). Ujung Pandang : Laporan Penelitian UNHAS.
Gibson , Hill, C. A. 1953.  The origin of the Trengganu Pinas. JIBRAS, 26/I.
Hadisumarno, Sularto. 1986. Penelitian Tentang Konstruksi Perahu Layar Tradisional ( Phinisi ) dalam rangka Meningkatkan Keselamatan Pelayaran. Ujung Pandang: LEPHAS UNHAS.
Horridge  G. A. 1979. The Konjo Boatbuilders and the Bugis Perahu. London: Nat. Maritime Museum. Mom 40.
Liebner , H. H . 1998. About History and Customs of the Village of Panrang Luhuk. Ujung Pandang: P3PMP UNHAS.
Liebner, H. H. 1996. About History and Techniques of Tanah Beru Boat-Building. Ujung Pandang: P3PMP UNHAS.
Mangemba, H. D. 1956. Kenallah Sulawasi Selatan. Jakarta: Timur Mas.
Manguin, PY. 1985. Research of the Ships of Srivijaya. Report for SPAFA Consulate Workshop On Archaelogical and Environmental Studies. Jakarta : Padang.
Mubyarto. 1985. Peluang kerja dan Berusaha di Pedesaan. Yokyakarta : FEUGM.
Mukhlis. 1990. “ Perahu Bugis: Industri Kemaritiman di Pedesaan Sulawesi” dalam Sayogyo dan Mangara Tambunan: Industrialisasi Pedesaan. Bogor : IPB-ISEI.
Mukhlis. 1991. Teknologi dan Perubahan Sosial Kawasan Pantai. Ujung Pandang: P3PMP UNHAS.
Nooteboom, C. 1951. Perihal Perkapalan dan Pelayaran di Indonesia. Jakarta: De Moderne Boek Handel.
Pabittei,  Aminah (ed). 1995. Pinisi, Perahu khas Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Proyek Pembinaan Permuseuman Sul-Sel.
Pelly, Usman. 1975. Ara dengan Perahu Bugisnya, Sebuah studi mengenai pewarisan Keahlian Orang Ara kepada Anak dan Keturunannya. Ujung Pandang: PLPIIS.
Salman,  Darmawan. 1993. Pengembangan Organisasi Produksi dan Mobilitas Okupasi pada masyarakat Industri Perahu Bugis. Bogor:IPB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar